Rabu, 23 November 2011

Persamaan antara Kode etika Jurnalistik Dan Kode Etik Humas

PERSAMAAN ANTARA KODE ETIK JURNALISTIK
DAN KODE ETIK HUMAS


No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
1.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 4 disebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Kode Etik Perhumasan Indonesia, Pasal 3 mengenai Perilaku Terhadap Masyarakat dan Media Massa, poin C disebutkan anggota Perhumas harus tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 4 disebutkan poin dimana wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Kode Etik Humas juga menyebutkan anggota Perhumas tidak boleh menyebarkan berita yang tidak benar. Setiap berita harus dapat diselidiki dahulu kebenarannya agar tidak menjadi berita yang dapat membohongi masyarakat/publik dan hal tersebut secara otomatis akan dapat merusak nama baik organisasi dan kehumasan itu sendiri, karena profesinya mempunyai kaitan yang erat dengan masyarakat, sehingga tindakannya akan menjadi penilaian masyarakat dan akan mempengaruhi penilaian masyarakat secara keseluruhan kepada profesinya.  Sehingga baik dalam Kode Etik Jurnalistik maupun Kode Etik Perhumasan Indonesia terdapat kesamaan, dimana baik seorang jurnalis maupun PR tidak boleh memberikan suatu kebohongan atas suatu informasi.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
2.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 4 disebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Kode Etik Profesi Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APRI), Pasal 13 mengenai Mencemarkan Anggota-anggota Lain, disebutkan bahwa seorang anggota tidak akan dengan itikad buruk mencemarkan nama baik atau praktik profesional lainnya.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 4 disebutkan poin dimana wartawan Indonesia tidak membuat fitnah. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sedangkan pada Kode Etik Profesi APRI disebutkan anggota tidak oleh dengan itikad buruk mencemarkan nama baik atau praktik profesional lainnya. Fitnah dan mencemarkan nama baik merupakan hal yang hampir sama, karena jika seseorang difitnah maka nama baiknya juga akan tercemar, padahal mungkin orang tersebut tidak berbuat seperti yang dituduhkan kepadanya. Sehingga sangat jelas terlihat terdapat kesamaan diantara kedua aturan ini. Bidang jurnalistik maupun humas sangat menjunjung tinggi keprofesionalan dalam bekerja, dan tidak diizinkan bagi anggotanya (jurnalis dan humas) untuk mencoreng nama baik kedua profesi ini dengan membuat fitnah ataupun mencemarkan nama baik orang/organisasi lain dengan suatu kebohongan.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
3.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 6 menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Kode Etik Profesi Asosiasi Perusahaan Pubic Relations Indonesia (APRI), Pasal 7 mengenai Informasi Rahasia disebutkan bahwa seorang anggota (kecuali bila diperintahkan oleh aparat hukum yang berwenang) tidak akan menyampaikan atau memanfaatkan informasi yang dipercayakan kepadanya, atau yang diperolehnya, secara pribadi, dan atas dasar kepercayaan, atau yang bersifat rahasia, dari kliennya, baik di masa lalu, kini atau masa depan, demi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau untuk kepentingan lain tanpa persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 disebutkan poin dimana wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Kode Etik Profesi APRI jaga menyebutkan anggota tidak akan menyampaikan atau memanfaatkan informasi yang dipercayakan kepadanya, atau yang diperolehnya secara pribadi. Terdapat kesamaan pada kedua kode etik diatas, yang menyatakan anggotanya tidak boleh memanfaatkan informasi yang belum diketahui oleh masyarakat/publik secara pribadi dan mengambil keuntungan dari informasi tersebut.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
4.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 1 disebutkan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Kode Etik Profesi Asosiasi Perusahaan Pubic Relations Indonesia (APRI), Pasal 6 mengenai Pertentangan Kepentingan disebutkan bahwa seorang anggota tidak akan mewakili kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan atau saling bersaing, tanpa persetujuan yang jelas dari pihak-pihak yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu mengemukakan fakta-fakta yang terkait.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 disebutkan poin dimana wartawan Indonesia bersikap independen. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Dalam Kode Etik Profesi APRI menyebutkan bahwa seorang anggota tidak diperkenankan mewakili kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan atau saling bersaing. Sehingga terdapat kesamaan mengenai independensi dari seorang jurnalis maupun seorang PR. Baik jurnalis maupun PR bekerja untuk hati nurani dan masyarakat/publik, sehingga mereka harus bisa menjaga keprofesionalan dengan tidak memihak salah satu pihak yang sedang bertentangan dan membuat informasi yang dihasilkan menjadi tidak objektif, dan akan membuat mental model yang salah dari masyarakat/publik mengenai masalah yang terjadi.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
5.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 2 menyebutkan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kode Etik Profesi Asosiasi Perusahaan Pubic Relations Indonesia (APRI), Pasal 11 mengenai Imbalan Kepada Karyawan Kantor-kantor Umum dikatakan bahwa seorang anggota tidak akan menawarkan atau memberikan imbalan apapun, dengan tujuan untuk memajukan kepentingan pribadinya (atau kepentingan klien), kepada orang yang menduduki suatu jabatan umum, apabila hal tersebut tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat luas.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 terdapat beberapa penjabaran, salah satunya adalah tidak menyuap. Kode Etik Profesi APRI pun dengan jelas melarang anggotanya untuk menawarkan apalagi memberikan imbalan dalam bentuk apapun untuk kepentingan pribadi/klien bila hal tersebut tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat luas. Kedua kode etik ini jelas melarang anggotanya untuk berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma yang ada dimasyarakat, salah satunya kejujuran yang sangat bertentangan dengan suap menyuap, karena dengan melakukan suap kita tidak hanya melakukan perbuatan tidak jujur tapi juga perbuatan yang melanggar hukum. Sehingga terdapat persamaan pada dua aturan ini yang tidak memperbolehkan anggotanya untuk memberikan suap, walaupun untuk kepentingan klien sekalipun, jika hal tersebut tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat/publik.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
6.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 3 tertulis wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Kode Etik Profesi Asosiasi Perusahaan Pubic Relations Indonesia (APRI), Pasal 2 mengenai Penyebarluasan Informasi ditulis bahwa seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggungjawab, informasi yang palsu atau yang menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban menjaga integritas dan ketepatan informasi.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 ditulis wartawan Indonesia selalu menguji informasi yang berarti melakukan check dan recheck tentang kebenaran suatu informasi, sedangkan pada Kode Etik Profesi APRI disebutkan seorang anggota berkewajiban menjaga integritas dan ketepatan suatu informasi. Kebenaran dari suatu informasi merupakan hal yang vital bagi pekerjaan jurnalis maupun PR, karena informasi yang mereka dapatkan akan disampaikan pada masyarakat/publik, sehingga menjaga integritas atau ketepatan informasi dengan melaksanakan check dan recheck merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Disini, secara tersirat terdapat kesamaan diantara kedua pasal tersebut, karena baik anggota jurnalis maupun seorang PR harus menjamin kebenaran mengenai sebuah informasi sebelum informasi tersebut disampaikan pada masyarakat/publik, untuk mencegah terjadinya kebohongan publik.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
7.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 6 menyatakan bahwa wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Kode Tingkah Laku Profesional Institut Public Relations (IPR) nomer 7 mengenai Sumber Pembayaran menyatakan bahwa seorang anggota, selama menunaikan tugas profesionalnya terhadap majikan atau klien hendaknya tidak menerima pembayaran dalam bentuk uang tunai atau sejenisnya dalam kaitan pelayanan tersebut dari sumber apapun tanpa izin majikan atau klien.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 tertulis bahwa wartawan Indonesia tidak menerima suap. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi, sehingga peristiwa yang diberitakan tidak sesuai lagi dengan hati nurani karena ada unsur campur tangan atau intervensi dari pihak lain dalam bentuk suap. Dalam Kode Tingkah Laku Profesional IPR juga disebutkan bahwa seorang anggota hendaknya tidak menerima pembayaran tanpa izin majikan atau klien. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan antara kedua aturan yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan tidak bertoleransi pada perbuatan curang seperti menerima suap.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
8.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 7 disebutkan bahwa wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannnya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Kode Etik Kehumasan Indonesia (Perhumas) Pasal 2 mengenai Perilaku Terhadap Klien atau Atasan, pada poin C disebutkan anggota Perhumas harus menjamin rahasia serta kepercayaan yang diberikan oleh klien atau atasan maupun yang pernah diberikan oleh mantan klien atau atasan.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 7 disebutkan bahwa wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannnya. Hak tolak berarti hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Dalam Kode Etik Kehumasan Indonesia (Perhumas) Pasal 2 juga dijabarkan mengenai penjaminan kerahasiaan serta kepercayaan yang diberikan kepada seorang PR. Disini terdapat persamaan pada kedua pasal tersebut yang memberikan hak pada seorang jurnalis dan PR untuk menjaga kerahasiaan dan kepercayaan yang diberikan narasumber/klien/atasan/mantan klien atau atasan.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
9.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 2 menyebutkan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kode Tingkah Laku Profesional International Public Relations Association (IPRA) poin C nomer 3 menyatakan bahwa seorang anggota hendaknya tidak menyebarkan dengan sengaja informasi palsu atau menyesatkan.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 disebutkan wartawan Indonesia menempuh cara yang profesional dalam melaksanakan tugas. Dalam penjabarannya, salah satu poin dalam cara profesional yang dimaksud adalah menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Di dalam Kode Tingkah Laku Profesional IPRA juga menyatakan anggota tidak boleh menyebarkan berita palsu. Berita faktual adalah berita yang menyajikan kejadian yang benar-benar terjadi (fakta), dan tidak boleh menyebarkan berita palsu berarti harus bisa menyajikan informasi yang sebenarnya terjadi (fakta). Sehingga terdapat kesamaan dalam kedua aturan ini. Baik jurnalis maupun PR harus mengungkapkan yang sebenarnya terjadi, bukan rekayasa, karena kembali lagi jika seorang jurnalis atau PR tidak menyajikan berita/informasi yang sebenarnya maka hal tersebut akan menjadi kebohongan publik.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
10.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 1 menyatakan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Kode Tingkah Laku Profesional International Public Relations Association (IPRA) poin C nomer 4 menyatakan bahwa seorang anggota hendaknya disetiap waktu berusaha memberikan gambaran yang seimbang dan terpercaya terhadap organisasi yang dilayaninya.
Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 ditulis bahwa wartawan Indonesia harus berimbang. Yang dimaksud berimbang adalah semua pihak mendapatkan kesempatan yang setara. Kesempatan yang setara dapat diartikan bahwa seorang jurnalis harus memandang suatu masalah bukan hanya dari satu sisi, akan tetapi harus dilihat pula sisi-sisi yang lain, dan semua sisi harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapatnya. Kode Tingkah Laku Profesional IPRA juga tertulis bahwa seorang anggota harus memberikan gambaran yang seimbang terhadap organisasi yang dilayani. Terdapat kesamaan dalam kedua kode etik diatas yang memegang teguh arti dari keseimbangan, karena keseimbangan adalah kunci untuk mendapatkan kepercayaan dari narasumber/klien.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
11.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 2 menyebutkan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kode Tingkah Laku Profesional Institut Public Relations (IPR) nomer 11 mengenai Hadiah Kepada Pemegang Jabatan Pemerintah menyatakan bahwa seorang anggota hendaknya tidak, dengan maksud untuk memajukan kepentingannya, atau mereka yang menjadi majikan atau kliennya, memberikan atau menawarkan hadiah apapun kepada seseorang yang memegang jabatan pemerintahan kalau tindakan itu tidak sejalan dengan kepentingan umum.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 2, terdapat beberapa penafsiran mengenai kata profesional, salah satunya adalah tidak menyuap, dapat diasumsikan bahwa jurnalis tidak boleh melakukan suap pada siapapun, baik orang biasa maupun orang yang berada dalam posisi pemegang jabatan. Kode Tingkah Laku Profesional IPR pun menyatakan hal yang sama agar anggotanya tidak memberikan atau menawarkan hadiah kepada seseorang yang memegang jabatan pemerintahan. Jadi kedua kode etik ini memiliki kesamaan dalam pandangannya mengenai suap menyuap.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
12.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 8 menyatakan bahwa wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Kode Etik Humas Public Relations Society of America (PRSA), salah satu dalam penjabarannya menyatakan bahwa setiap anggota PRSA hendaknya berusaha agar menghormati, selama tugas profesinya, prinsip-prinsip moral dan ketentuan “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 8 dinyatakan bahwa wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi. Diskriminasi berarti pembedaan perlakuan. Kode Etik Humas PRSA juga harus berpegang pada ketentuan yang terdapat di “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, agar menghormati dengan semestinya dan menjunjung tinggi martabat manusia dan mengakui hak setiap pribadi. Jadi terdapat kesamaan pada kedua kode etik diatas yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, dan tidak membedakan perlakuan terhadap manusia berdasarkan SARA, jenis kelamin, bahasa, dan lain-lain.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
13.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 7 disebutkan bahwa wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannnya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Kode Tingkah Laku Profesional International Public Relations Association (IPRA) poin B nomer 3 menyatakan bahwa seorang anggota hendaknya menjaga kepercayaan klien atau majikan baik dulu atau sekarang.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik, Pasal 7 disebutkan bahwa wartawan Indonesia berhak melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya. Hal ini berarti seorang jurnalis memegang kepercayaan yang diberikan oleh narasumber untuk menjaga sesuatu yang ingin dirahasiakan. Di dalam Kode Tingkah Laku Profesional IPRA pun dikatakan seorang anggota harus bisa menjaga kepercayaan yang diberikan padanya, baik dari klien/majikan dulu ataupun sekarang. Jadi, baik seorang jurnalis maupun seorang PR harus bisa memegang kepercayaan yang diberikan (baik oleh narasumber maupun dari klien/majikan). Sehingga kedua kode etik ini mempunyai persamaan dalam hal menjaga komitmen untuk terus berupaya memperoleh dan mempertahankan kepercayaan yang mereka dapatkan.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
14.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 2 disebutkan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kode Etik Humas Public Relations Society of America (PRSA) dalam penjabarannya terdapat poin yang menyatakan bahwa setiap anggota PRSA hendaknya menahan diri dari penyisihan kebenaran terhadap keperluan-keperluan lain.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 2, terdapat beberapa penafsiran mengenai kata profesional, salah satunya adalah menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Sedangkan pada Kode Etik Humas PRSA menyebutkan setiap anggota harus menahan diri dari penyisihan kebenaran, yang berarti seorang humas harus dapat menyatakan hal yang sebenarnya terjadi (fakta), dan tidak membuat informasi yang tidak tepat, yang berlawanan dengan kebenaran. Demikian pula dengan jurnalis, seorang jurnalis harus bisa menghasilkan berita yang sebenarnya terjadi, tanpa direkayasa sebelumnya. Sehingga, terdapat kesamaan pada kedua kode etik ini yang menyatakan seorang jurnalis/PR harus bisa melihat fakta yang terjadi dan memberitakan/menginformasikan dengan tepat sesuai dengan kenyataan.
No.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Humas
15.
Kode Etik Jurnalistik, Pasal 9 tertulis bahwa wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Kode Etik Perhumasan Indonesia, Pasal 4 mengenai Perilaku terhadap Sejawat, poin A disebutkan bahwa praktisi kehumasan Indonesia harus tidak dengan sengaja merusak dan mencemarkan reputasi profesional sejawatnya. Namun, bila ada sejawat yang bersalah karena melakukan tindak yang tidak etis, yang melanggar hukum, atau yang tidak jujur, termasuk melanggar kode etik kehumasan Indonesia, maka bukti-bukti wajib disampaikan pada dewan Kehormatan Perhumas.
Persamaan: Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 9 disebutkan bahwa wartawan Indonesia harus menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati, sedangkan kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Kode Etik Perhumasan Indonesia juga menyatakan anggota tidak boleh mencemarkan rekan sejawat, kecuali jika ditemukan bukti-bukti pelanggaran. Sehingga secara tersirat terdapat kesamaan, dimana baik dalam kode etik humas maupun jurnalistik, seorang anggota boleh memasuki kehidupan pribadi orang lain jika hal tersebut terkait dengan kepentingan publik.

sumber :  biasta.wordpress

1 komentar:

"Hi!..
Greetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
Ejurnalism

Posting Komentar