Entah bagaimana dulu awalnya, kata “hospital” begitu di Indonesia menjadi “rumah sakit”. Apa ini yang menyebabkan mayoritas rumah sakit di Indonesia memberikan pelayanan kepada pelanggannya jauh dari keramahtamahan. Jangankan senyum, memberikan pelayanan pun dengan lambat dan berbelit-belit. Terkesan mempersulit malah. Padahal semestinya, “Hospital” dapat menjadi rumah pasien kedua selain rumahnya sendiri. Pasien yang dalam masa penyembuhan tentu membutuhkan tempat yang nyaman dan aman seperti di rumah sendiri.
Beberapa kali saya menjadi “konsumen” rumah sakit, selalu saja diterima dengan penuh ketidakramahan. Dari pintu gerbang masuk rumah sakit, tempat parkir dan tempat pendaftaran. Untuk bertanya tempat klinik saja, jangankan diantar tetapi hanya dijawab dengan sekenanya tanpa melihat wajah yang bertanya. Kemudian antri dan menunggu dokter dalam waktu yang tidak lama bahkan kadang berjam-jam. Ruang tunggu pun terkesan semrawut dan kurang bersih.
Begitu waktu periksa tiba, dokter pun tidak memberikan waktu yang cukup untuk konsultasi. Setiap ada pertanyaan yang saya ajukan, dia hanya menjawab agar diminum saja obatnya. Entah sebenarnya dia juga tidak mengerti penyakitnya. Atau dia memang malas dan tidak menghargai hak pasien. Kadangkala sebelum ditanya apa yang dirasakan dan diderita pasien, sang dokter malah sudah menulis resepnya. Loh!
Proses berlanjut ketika harus membeli obat atau memeriksa di laboratorium untuk kepentingan diagnosa. Rasanya semua unit memberikan pelayanan dengan cara yang sama. Kaku, lambat, jutek dan mahal senyum. Belum lagi biaya pengobatan yang mahal. Ini hanya contoh pelayanan di rawat jalan. Berbeda lagi pelayanan rawat inap, bagaimana perawat memperlakukan pasien yang tidak memenuhi standar asuhan keperawatan. Duh!.
Pasien dalam keadaan lemah posisinya. Tidak mempunyai banyak pilihan. Sampai kapan “hospital” melayani tanpa “hospitality”?
sumber : hospitality.blogdetik
0 komentar:
Posting Komentar